SANGAT umum terjadi bagi banyak orang
Indonesia, mulai dari para pembesar dan cerdik pandai di tingkat nasional
sampai dengan tokoh masyarakat dan orang-orang terpelajar di tingkat RT/RW,
setiap kali lebaran tiba, menguncapkan “Minal aidin wal faizin”. Kalimat ini
seakan-akan jika dialihbahasakan ke dalam Bahasa Indonesia menjadi ”mohon maaf
lahir batin”.
Kapankah kebiasaan tersebut dimulai di negeri
ini? Wallahu alam bishawab. Mungkin saja sudah puluhan, atau bahkan ratusan
tahun, ungkapan dan ucapan seperti itu menjadi tradisi turun temurun dalam
kehidupan.
Ungkapan ini telah menjadi samacam tradisi
tanpa kritisi atau bahkan menjadi adat tanpa ada debat. Hal ini terjadi karena
Bahasa Arab belum menjadi bahasa kedua di negeri ini. Paling tidak untuk
pemeluk Islam. Pemahaman kita terhadap Bahasa Arab adalah pemahaman taklid atau meniru buta, tanpa pemahaman yang rasional. Bukankah
pendekatan agama kita konon berawal dari percaya terlebih dahulu, bukan dari
ketidakpercayaan sebagaimana pendekatan ilmu pengetahuan.
Minal aidin wal faizin
Ungkapan ini sebenarnya hanya berupa sebuah
frase atau bagian dari sebuah kalimat yang lebih panjang. Jadi, bukan kalimat
yang lengkap SPO-nya atau subyek/predikat/obyeknya.
Secara lengkap, kalimatnya adalah ”Ja
alanallahu wa iyyakum minal aidzin wal faidzin” yang artinya “semoga Allah
menjadikan kami dan anda sebagai orang-orang yang kembali dan beruntung”. Jadi,
minal aidin wal faizin sendiri berarti dari orang-orang yang kembali dan beruntung.
Dengan demikian, frase itu minal aidin wal faizin tidak memiliki makna sama sekali dengan
ungkapan permintaan maaf atau pun bermaaf-maafan. Bahkan dalam Bahasa Indonesia
ungkapan “bermaaf-maafan” malah dinilai terlalu berlebih-lebihan atau mubazir,
karena ungkapan “bermaafan” sudah cukup, karena ungakapan bermaafan sudah
memiliki makna saling meminta maaf.
Dalam Bahasa Arab, ungkapan permintaan maaf
biasanya dinyatakan dengan pernyataan “afwan” yang artinya permintaan maaf yang
tulus dan ikhlas. Kalau kurang puas dengan kata “afwan” yang dinilai kurang
panjang, maka bolehlah ditambah dengan “afwan zahin wal bathin”.
Dalam hal maaf ini, perlu kita sadari bahwa
ternyata memberi maaf mempunyai nilai yang jauh lebih tinggi dibandingkan
dengan meminta maaf itu sendiri.
Ketika Nabi sedang berdakwah, ada seseorang
yang datang terlambat dalam acara dakwah itu. Pada saat itu, Nabi Muhammad SAW
menyatakan bahwa seorang yang datang terlambat itu dinyatakan justru sebagai
penghuni surga. Kontan saja, banyak sahabat dan hadirin yang telah lebih dahulu
datang bertanya-tanyalah di dalam hati yang paling dalam tentang amalan apakah
yang telah dilakukan orang tersebut sehingga dinyatakan sebagai penghuni surga.
Setelah dakwah selesai, bahkan ada beberapa
orang yang kemudian mencoba mencari tahu atau melakukan semacam “investigasi”
dengan menginap di rumah orang tersebut.
Singkat kata, beberapa orang yang menginap di
rumah calon penghuni surga tersebut ternyata tidak dapat menemukan amalan yang
dinilai patut menjadi indikator bahwa orang itu memang calon penghuni surga.
Misalnya, orang itu ternyata tidak melakukan amalan shalat malam, tidak pula
menjadi dermawan yang memberikan hartanya untuk menyantuni fakir miskin dan
anak-anak yatim.
Singkat cerita, setelah tidak menemukan
satupun indikator sebagai penghuni surga, akhirnya setelah sekian hari
melakukan pengamatan terhadap amalan sang penghuni surga tersebut, maka salah
seorang pengamat terpaksa mengajukan pertanyaan tentang amalan apa yang selama
ini telah menjadi amalan harian sang penghuni surga.
Dari dialog dengan calon penghuni surga itu,
amalan yang secara istiqamah beliau lakukan adalah “memberikan maaf yang selalu
beliau ucapkan menjelang tidur”. Kisah ini memberikan pelajaran kepada kita
bahwa ternyata memberi maaf merupakan prestasi seseorang yang akan menjadi
bekal utama sebagai penghuni surga. Bukan hanya meminta maaf kepada sesamanya.
Allahu alam. [suparlan]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar